Problematika tentang BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial), Sensus Ekonomi 2016 hingga soal tambang emas Tumpang
Pitu menjadi bahasan hangat dalam acara Rapat Koordinasi Sinergitas Tiga
Pilar pada Selasa (29/3).
Dihelat di Taman Blambangan, acara tersebut
dihadiri Forum Pimpinan Daerah, SKPD, camat, tokoh-tokoh agama, Babinsa
(Bintara Pembina Desa), Babinkamtibmas (Badan Pembinaan Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat) dan Kepala Desa/Kelurahan se-Banyuwangi.
Dalam pertemuan rutin tiga bulanan tersebut tidak hanya membahas
sebatas masalah keamanan dan ketertiban masyarakat saja, namun juga
membahas isu-isu strategis yang sedang berkembang di masyarakat. Hadir
dalam kesempatan tersebut, Kepala BPJS Banyuwangi Santhu Harianja dan
Kepala BPS Banyuwangi Muhammad Amin untuk menjawab beragam pertanyaan
terkait BPJS dan sensus ekonomi 2016.
Masalah pengajuan BPJS yang banyak dialami, perlu dicarikan jalan
keluarnya. Sebagaimana tampak dalam sesi dialog, pihak BPJS mengakui
banyaknya aturan-aturan yang menyangkut klaim BPJS yang masih belum
tersosialisai dengan baik kepada masyarakat. “Kita berharap ada
sosialisasi secara luas kepada masyarakat,” harap Anas kepada kepala
BPJS Banyuwangi.
Bupati Anas juga mengharapkan forum tiga pilar juga membantu
masyarakat miskin agar dapat mengakses BPJS tersebut. “Forum tiga pilar
harus ikut membicarakan masalah rakyat miskin. Jaminan kesehatan BPJS
ini merupakan hal penting yang harus kita dampingi. Saya kira, jika
kepala desa, pak lurah, pak camat bisa mengatasi hal ini, akan sangat
keren,” papar Anas.
Sensus Ekonomi 2016 juga menjadi bahan dialog tersebut. Anas
mengungkapkan, sensus ekonomi yang dilakukan tiap sepuluh tahun sekali,
penting untuk melihat potret ekonomi di Banyuwangi. Potret ekonomi
tersebut, menurut Anas, akan mempengaruhi pemerintah dalam mengambil
kebijakan. “Misalnya pelaku usaha toko. Jika dagangannya laku sepuluh,
jangan mengaku hanya laku dua. Jika informasi yang diberikan tidak
benar, maka pemerintah bisa salah dalam menentukan kebijakan ekonomi,”
ungkap Anas.
Sementara itu, tambang emas Tumpang Pitu tak luput dalam bahasan rakor tersebut. Selain soal perizinan dan amdal tambang emas, golden share berupa
saham yang diterima pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi juga sempat
dipertanyakan oleh salah satu peserta rakor. Pak Minto, perwakilan
Parisada Hindu Dharma, menanyakan tentang saham 10 persen milik
Kabupaten Banyuwangi dalam tambang emas Tumpang Pitu tersebut.
Terkait saham tersebut, Anas menjelaskan bahwa Pemkab Banyuwangi
mendapatkan saham 10 persen non delusi. Artinya, dengan demikian,
persentase saham Banyuwangi akan tetap berjumlah sepuluh persen
seberapapun banyaknya modal baru yang kelak akan masuk pada investasi
tambang emas Tumpang Pitu yang kini masuk bursa efek (IPO) itu. “Pemkab
dapat saham 10 persen non delusi. Jadi berapapun modal yang nanti masuk
ke perusahaan tambang, tidak akan mempengaruhi jumlah persentase saham
pemkab,” ungkap Anas.
Anas juga memaparkan, bahwa saham 10 persen tersebut tidak dikelola
oleh BUMD sebagaimana pada daerah-daerah lain, namun langsung dimasukkan
ke kas APBD. Hal ini, menurut Anas, untuk menjaga nilai investasi
ratusan milyar tersebut dikorup oleh jajaran BUMD yang tingkat
pengawasannya cukup rendah.
“Setelah konsultasi dengan menteri keuangan, saham Pemkab tidak
dikelola oleh BUMD, tapi langsung dimasukkan dalam APBD Banyuwangi. Ini
sebagai bentuk niat baik kami agar investasi tersebut terus dirasakan
oleh anak cucu kita kelak. Kalau ditaruh di BUMD, sangat rawan untuk
diselewengkan, tapi jika ditaruh di APBD , maka harus ada kesepakatan
dengan DPRD dalam mengalokasikan anggaran tersebut,” papar Anas.
“Jika DPRD mengizinkan, saham tersebut bisa dicairkan dan
dipergunakan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya untuk membangun rumah
sakit atau sekolah disekitar area tambang,” imbuh Anas. (humas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar