Program ”Smart Kampung” berbasis desa yang digagas
oleh Pemkab Banyuwangi efektif dalam menggerakkan ekonomi lokal,
terutama warga desa. Instrumen teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
mampu mendorong kreativitas warga dalam melakukan kegiatan ekonomi
produktif.
”Kami memang sengaja mengusung program Smart Kampung, bukan Smart City karena
memang tantangan kami ada di kampung-kampung. Ada dua tantangan
utamanya, yaitu infrastruktur termasuk infrastruktur TIK yang masih
minim dan kapasitas SDM yang perlu ditingkatkan. Hal ini berbeda dengan
kota besar yang infrastruktur dan SDM-nya sudah sangat oke,” ujar Bupati
Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dihubungi usai menjadi pembicara dalam
Festival Nasional yang bertajuk Smart Money Smart City yang digagas oleh
Bank Indonesia di ruang eksibisi Golf Driving Senayan, Jakarta, Jumat
(3/6).
Program ”Smart Kampung” baru saja diluncurkan oleh Menkominfo
Rudiantara pada Selasa lalu (31/5). Di Banyuwangi telah ada 41
desa/kelurahan yang menjadi pilot project ”Smart Kampung” dan
saat ini sedang disiapkan untuk 176 desa lainnya. ”Smart Kampung” adalah
program pengembangan desa terintegrasi yang memadukan antara penggunaan
TIK berbasis serat optik, kegiatan ekonomi produktif, kegiatan ekonomi
kreatif, peningkatan pendidikan-kesehatan, dan upaya pengentasan
kemiskinan.
Terdapat tujuh kriteria ”Smart Kampung”, yaitu pelayanan publik,
pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, pengembangan pendidikan dan
seni-budaya, peningkatan kapasitas SDM, integrasi pengentasan
kemiskinan, dan melek informasi hukum. Semua kriteria tersebut
diturunkan ke program yang menyentuh kepentingan publik. TIK dijadikan
pendorong untuk menjalankan program sesuai tujuh kriteria tersebut.
”Contohnya, UMKM di desa diberi pelatihan teknis yang nantinya pemasaran bisa berbasis online di situs belanja UMKM banyuwangi-mall.com.
Smart Kampung juga jadi instrumen untuk mempercepat inklusi keuangan
alias membuat warga makin melek keuangan yang akan disinergikan dengan
Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujarnya.
Anas menambahkan, kriteria pemberdayaan ekonomi dalam program ”Smart
Kampung” menjadikan balai desa sebagai pusat ekonomi produktif yang
difasilitasi pelatihan dan pemasarannya oleh pemerintah daerah, seperti
batik dan produk olahan pertanian. ”Tentu jenis produknya menyesuaikan
potensi lokal masing-masing kampung,” ujar dia.
Dengan ”Smart Kampung”, Anas berharap warga tak lagi minder karena
semua pelayanan berbasis desa bisa menjawab kebutuhan warga. Dengan
program ini, warga kampung bisa semakin termotivasi untuk maju. Yang
pelajar bisa mengakses internet untuk menambah wawasan, yang UMKM bisa browsing untuk
tahu tren produk, yang bergerak di pertanian bisa akses berbagai
problem dan solusi pertanian, dan sebagainya. Istilahnya, bolehlah kami
tinggal di kampung, tapi dekat dengan dunia,” papar Anas.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPM-PD)
Suyanto Waspotondo menggarisbawahi perlunya kampung-kampung dialiri
internet, bahkan harus yang berbasis serat optik. Oleh karena itu,
tambahan alokasi dana desa (ADD) dari Pemkab Banyuwangi bakal
dialokasikan untuk membeli bandwidth di desa-desa. Pembelian bandwidth itu diatur dalam APBDes masing-masing desa.
”Ini juga bagian untuk menunjang pelayanan. Misalnya yang sudah jalan
sejak lama adalah program Lahir Procot Pulang Bawa Akta Kelahiran. Asal
disiapkan nama dan dokumen lengkap, begitu anak lahir, akta kelahiran
bisa terbit. Biarkan berkasnya yang berjalan di kabel, bukan orangnya.
Orangnya bisa hemat waktu, yang bisa digunakan untuk bekerja di sawah,
mengolah buah, membuat batik, belajar bahasa, berkesenian, dan
sebagainya. Sehingga, makin banyak warga produktif tanpa harus tersita
untuk urusan administrasi,” kata Yayan, sapaan Suyanto.
Anas menambahkan, program ”Smart Kampung” bisa semakin mendorong
ekonomi lokal, termasuk mengerek pendapatan per kapita warga. Dalam lima
tahun terakhir, pendapatan per kapita warga Banyuwangi sudah naik 80
persen dari Rp 20,8 juta per orang per tahun pada 2010 menjadi Rp 37,53
juta per tahun pada 2015.
”Indeks ketimpangan atau gini ratio juga sudah turun menjadi
0,29. Meski demikian, problem kemiskinan tetap ada. Ada sebagian warga
yang belum masuk dalam gairah peningkatan ekonomi ini. Banyak faktor
penyebabnya. Mereka tidak ditinggal. Kami terus berupaya dengan
program-program berkelanjutan, termasuk Smart Kampung ini,” pungkas
Anas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar